kejadian ini terjadi pada tahun 1995 pas malam Jum’at legi, lebih
tepatnya sudah gak ingat lagi (maaf sudah terlalu lama). Saya ingat
malam Jum’at legi karena malam ini di kampung kami yang memegang adat
Jawa sangat mensakralkan malam ini.
Langsung saja, ketika itu saya, Eko dan beberapa teman lain sedang kumpul-kumpul sambil gitaran (di kampung kami biasa menyebutnya Cangkruk) karena memang situasinya sedang liburan kenaikan kelas (waktu itu saya dan Eko naik kelas 2 SMP). Dulu liburan kenaikan kan lebih dari 1 bulan jadi ketika kami "cangkruk" yang pasti ada rasa bosan karena tiap malam selalu cangkruk dan usia kami masih SMP jadi kondisi keuangan selalu minim, jadi hiburan kami selalu kumpul dan main gitar, begitu terus. Kalaupun ada kegiatan lain mungkin kami akan bakar ketela atau apalah (maklum kami anak kampung). Oh ya, saya tinggal di Banyuwangi daerah selatan (pinggir hutan Purwo), jadi kalau masalah cerita yang seram sih di tempatku sangat banyak. Jadi besok kalau saya punya waktu luang akan saya "cicil" untuk menceritakannya.
Sorry ngelantur... Waktu itu Eko karena bosan ngajak saya dan teman-teman lainnya untuk mancing belut di kanal (sungai buatan kecil untuk mengairi sawah). Beruntung saya menolak karena saya selalu mempunyai keberuntungan yang kecil dalam memancing dengan kata lain "saya gak bisa mancing".
Nah akhirnya Eko dan tiga teman saya yang lain berangkat memancing. Sampai di kanal gak ada masalah meskipun kondisinya gelap gulita dan tidak ada satu rumah penduduk (ya jelas dong karena di sawah). Mereka bergerak perlahan mencari lubang demi lubang tempat belut bersarang. Lumayan mereka sudah mendapatkan banyak tangkapan sampai akhirnya alur kanal tersebut belok ke arah desa. Nah ada beberapa rumah di pinggir area persawahan tersebut, termasuk rumah mbah Suro (mbah Suro seorang duda tinggal sendiri dan anaknya merantau dan tidak pernah kembali) depan rumah tersebut merupakan pekarangan, belakangnya rimbunan pohon bamboo, samping kanannya pekarangan juga dan kirinya langsung berbatasan dengan kanal tempat Eko cs memancing.
Pada waktu itu Eko cs merasa curiga karena rumah tersebut kok ada penerangannya meskipun hanya "dimar ublik" (lampu tempel berbahan bakar minyak tanah) padahal mereka tahu kalau mbah Suro sudah meninggal belum ada 7 harinya sedangkan anak-anaknya tidak mengetahui kabar tersebut (karena belum ada HP, telephon saja belum) dan kamipun ikut Ta’jiah waktu itu (adat kami di desa masih sangat "Gotong Royong" sekali, tapi sekarang sudah mulai luntur meskipun demikian kalau masalah kematian warga kami tetap kompak sampai sekarang).
Rasa penasaran yang semakin menjadi membuat Eko cs mengintip (dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang sudah lama sehingga sangat mudah untuk membuat lubang buat ngintip). Setelah para pemancing mania tersebut mengintip, tanpa komando mereka langsung lari semburat sampai alat pancing dan belutnya pun tertinggal.
Ternyata diantara celah lobang anyaman bambu yang mereka buat, mereka melihat sebuah dimar ublik yang diletakkan di atas meja panjang dan dihadapan dimar tersebut terdapat sesosok tubuh yang dibalut kain putih kotor oleh tanah dalam keadaan duduk memandangi dimar tersebut dengan tatapan kosong. Dan mereka dengan jelas melihat wajah diantara celah kain kotor yang membungkusnya tersebut... adalah wajah mbah Suro.
Langsung saja, ketika itu saya, Eko dan beberapa teman lain sedang kumpul-kumpul sambil gitaran (di kampung kami biasa menyebutnya Cangkruk) karena memang situasinya sedang liburan kenaikan kelas (waktu itu saya dan Eko naik kelas 2 SMP). Dulu liburan kenaikan kan lebih dari 1 bulan jadi ketika kami "cangkruk" yang pasti ada rasa bosan karena tiap malam selalu cangkruk dan usia kami masih SMP jadi kondisi keuangan selalu minim, jadi hiburan kami selalu kumpul dan main gitar, begitu terus. Kalaupun ada kegiatan lain mungkin kami akan bakar ketela atau apalah (maklum kami anak kampung). Oh ya, saya tinggal di Banyuwangi daerah selatan (pinggir hutan Purwo), jadi kalau masalah cerita yang seram sih di tempatku sangat banyak. Jadi besok kalau saya punya waktu luang akan saya "cicil" untuk menceritakannya.
Sorry ngelantur... Waktu itu Eko karena bosan ngajak saya dan teman-teman lainnya untuk mancing belut di kanal (sungai buatan kecil untuk mengairi sawah). Beruntung saya menolak karena saya selalu mempunyai keberuntungan yang kecil dalam memancing dengan kata lain "saya gak bisa mancing".
Nah akhirnya Eko dan tiga teman saya yang lain berangkat memancing. Sampai di kanal gak ada masalah meskipun kondisinya gelap gulita dan tidak ada satu rumah penduduk (ya jelas dong karena di sawah). Mereka bergerak perlahan mencari lubang demi lubang tempat belut bersarang. Lumayan mereka sudah mendapatkan banyak tangkapan sampai akhirnya alur kanal tersebut belok ke arah desa. Nah ada beberapa rumah di pinggir area persawahan tersebut, termasuk rumah mbah Suro (mbah Suro seorang duda tinggal sendiri dan anaknya merantau dan tidak pernah kembali) depan rumah tersebut merupakan pekarangan, belakangnya rimbunan pohon bamboo, samping kanannya pekarangan juga dan kirinya langsung berbatasan dengan kanal tempat Eko cs memancing.
Pada waktu itu Eko cs merasa curiga karena rumah tersebut kok ada penerangannya meskipun hanya "dimar ublik" (lampu tempel berbahan bakar minyak tanah) padahal mereka tahu kalau mbah Suro sudah meninggal belum ada 7 harinya sedangkan anak-anaknya tidak mengetahui kabar tersebut (karena belum ada HP, telephon saja belum) dan kamipun ikut Ta’jiah waktu itu (adat kami di desa masih sangat "Gotong Royong" sekali, tapi sekarang sudah mulai luntur meskipun demikian kalau masalah kematian warga kami tetap kompak sampai sekarang).
Rasa penasaran yang semakin menjadi membuat Eko cs mengintip (dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang sudah lama sehingga sangat mudah untuk membuat lubang buat ngintip). Setelah para pemancing mania tersebut mengintip, tanpa komando mereka langsung lari semburat sampai alat pancing dan belutnya pun tertinggal.
Ternyata diantara celah lobang anyaman bambu yang mereka buat, mereka melihat sebuah dimar ublik yang diletakkan di atas meja panjang dan dihadapan dimar tersebut terdapat sesosok tubuh yang dibalut kain putih kotor oleh tanah dalam keadaan duduk memandangi dimar tersebut dengan tatapan kosong. Dan mereka dengan jelas melihat wajah diantara celah kain kotor yang membungkusnya tersebut... adalah wajah mbah Suro.
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori cerita dunia gaib
dengan judul cerita seram melihat orang yang sudah meninggal. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://ceritahantuindo.blogspot.com/2012/05/cerita-seram-melihat-orang-yang-sudah.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Ako Ambardi -
Seram juga nhi
BalasHapus