Karena tidak punya uang untuk membayar rumah kos, aku terpaksa menempati rumah kosong di Jalan Dipayuda, Klitren Lor, Yogyakarta. Saat itu aku tinggal sendirian pada sebuah rumah yang sangat tua, yang kabarnya dibangun pada abad 17 akhir. Rumah tersebut dulunya dijadikan sebagai kantor pusat asuransi milik Negara Belanda, yaitu Rotterdam Insurance.
Rumah milik keluarga Sulaiman itu, pada saat itu dalam suatu kasus sengketa kepemilikan. Rumah itu menjadi rebutan antara Purwanti, mantan istri Sulaiman dengan Sulaiman sendiri. Sejak mereka bercerai resmi tahun 2001, otomatis keduanya pisah rumah. Sulaiman bekerja di Jakarta dengan menempati rumah pribadinya di Tebet Timur, sedangkan Purwanti, mantan istrinya, menempati rumah hasil gono-gini di Candi, Semarang Selatan.
Sebagai famili jauh dari Purwanti, aku dimintanya untuk menunggui rumah dalam sengketa itu. Mengetahui ada yang yang menempati sebagai wakil Purwanti, Sulaiman naik darah. Pengusaha EMKL itu mengusir aku. Mendengar aku diusir, Purwanti marah besar kepada Sulaiman. Dia langsung menemui Sulaiman di Yoyga dan menampar muka mantan suaminya itu. Sulaiman meludahi istrinya dan mereka saling lempar batu bata di rumah tua itu.
Karena merasa malu, Sulaiman lalu menghambur pergi. Dia pergi ke hotel Ambarukmo dan menginap di situ. Sedangkan Purwanti memerintahkan aku untuk menempati rumah itu berdasarkan surat keputusannya. Purwanti lalu menginap di Hotel Mutiara di Jalan Malioboro. “Awas, kamu jangan sampai pergi meninggalkan rumah ini. Tenang, jangan takut, ada saya. Tidak ada haknya Si Leman itu untuk mengusir kamu dari sini. Ini rumah saya, bukan rumah dia!” desis Purwanti kepadaku.
Karena mendapat dukungan kuat dari Purwanti, aku lalu kembali menempati rumah itu. Salah satu dari 14 kamar tidur aku bersihkan dan kugelar kasur untuk tidur. Sedangkan listrik yang sempat diputus oleh LPN, kembali disambung oleh Purwanti. Rumah gelap itu kembali terang. Beberapa kamar dan ruang aku pasang lampu besar yang dibeli oleh Purwanti. Air ledeng pun kembali dihidupkan dan aku sangat senang karena air dan lampu sangatlah cukup. Sedangkan untuk memasak, aku juga dibelikan kompor gas dan setiap bulan diberi uang untuk gas, listrik dan air ledeng oleh Purwanti.
Sebenarnya aku sangat suka menjaga rumah itu. Selain aku bisa mempunyai tempat tinggal tanpa bayar, aku bisa mendapatkan uang untuk makan dan menambah sedikit biaya kuliah. Ayahku yang miskin di Jambi, dapat tertolong dalam pengeluaran bulanan karena aku mendapat tambahan dari Purwanti. Bahkan beberapa kali aku berkirim surat kepada ayahku, agar ayah tidak usah rutin mengirim uang karena aku bekerja sambil kuliah. Kerjaanku itu adalah menjaga rumah besar banguan tua yang sedang berada dalam sengketa.
Pak Leman diam-diam menggunakan jasa dukun dalam penyelesaian masalah sengketa rumah itu. Dukun yang disewanya itu adalah Mbah Prawiro, 76 tahun, dari Bantul, pakar penjinak jin, yang mampu memenangkan perkara dengan kekuatan gaib. Setelah mendatangi rumah yang kutempati itu tengah malam, Mbah Prawiro bersama Pak Leman lalu kembali ke hotel Ambarukmo.
Mulanya aku tidak curiga akan kehadiran Mbah Prawiro itu. Bahkan aku tidak tahu kalau dia itu adalah seorang dukun hebat. Kuketahui bahwa Mbah Prawiro itu paranormal terkenal adalah dari Satpam gedung sebelah. Tengah malam itu, Si Satpam, Abdul Syukur, 34 tahun, sedang berjaga dan sempat melihat Mbah Prawiro dan Pak Leman berkomat-kamit di depan rumah sengketa.
Mengetahui hal itu, aku langsung pergi ke warnet yang buka 24 jam dan menelpon Bu Purwanti. Bu Purwanti langsung memerintahkan aku untuk tetap tenang dan tidak boleh menyerah. Aku diwanti-wanti untuk tetap bertahan dan tidak menjadi takut. “Jangankan kepada dukun, kepada preman jagoan pun, aku tidak boleh takut. Untuk itulah kau aku gaji!” desis Bu Purwanti.
Sebagai mahasiswa miskin yang banyak membutuhkan uang, jujur aku sangat terpaksa melakukan hal ini. Oleh karena aku butuh uang, maka aku dengan sangat terpaksa memberanikan diriku menghadapi apapun. Termasuk melawan preman berkulit hitam enam orang yang pernah pula dikirim Pak Leman untuk menteror aku. Tapi karena aku punya teman seorang polisi pemberani, maka preman-preman itu mundur dan takut kepada temanku yang polisi, Briptu Jagadikta Dikdjaya. Semua preman di Yogya mengenal polisi beringas yang mempunyai ilmu kebal sakti mandraguna itu. Aku berteman dengan polisi beken ini karena kami sama-sama bermain musik di band The Walk di Bausasran.
Hingga pukul 03.00 dinihari, aku tidak dapat memejamkan mataku. Pikiranku melayang ke orangtuaku di kampung. Aku memikirkan ibu, bapak dan adik-adikku yang membutuhkan biaya sekolah. Lain dari itu, tentu aku juga terus memikirkan keadaan rumah yang kujaga yang penuh teror. Setiap waktu, setiap saat, ada saja teror yang dilancarkan oleh Pak Leman. Selain menteror untuk mengenyahkan aku dari rumah itu, tapi juga trik strateginya yang jitu, baik secara politik, hukum maupun mistik, untuk memenangkan pertarungan harta melawan mantan istrinya, Bu Purwanti.
Sekitar pukul 03.40 pagi itu, tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki dari arah loteng. Suara langkah kaki itu mula-mula pelan, tapi lama kelamaan menjadi cepat dan semakin kencang. Dengan jantung berdebar hebat, aku berusaha bangkit dari kasur dan berdiri mengamati secara seksama sumber suara itu. Suara langkah kaki semakin keras, bahkan makin tajam melangkah di lantai atas, loteng yang selama ini menjadi gudang yang kumuh.
Karena didorong oleh tanggung jawabku sebagai penjaga rumah, aku memberanikan diri melangkah ke tangga menuju loteng. Aku membawa sebuah senter dua batere sebagai penerang di lantai atas. Satu persatu anak tangga aku naiki dengan perlahan. Setiap langkahku meniti anak tangga itu, setiap itu kecepatan gerak jalan jantungku terasa bertambah. Takut, cemas dan gundah gulana menjadi satu di dalam darahku.
Setelah menapaki anak tangga terakhir, aku menyenteri sumber suara. Syahdan, ternyata begitu tersenter arah sumber suara, gerakan langkah kaki makhluk itu berhenti mendadak. Diam membisu dan keadaan loteng pun dinihari itu menjadi sunyi sepi. Sinar senterku ku arahkan ke beberapa sudut untuk menemukan makhluk yang kemungkinan menampakkan diri.
Tapi sayang, tidak ada satupun makhluk yang aku temukan pagi itu. Lalu dengan jantung berdetak hebat, aku melangkah perlahan ke arah gudang. Kakiku setengah berjinjit untuk tidak mengagetkan siapapun yang ada di loteng itu. Dengan sabar dan tabah, aku meredam gejolak dadaku yang penuh rasa takut. Kucoba bertahan dengan kekuatan yang tersisa agar aku puas setelah mengetahui apa yang terjadi di loteng itu.
Begitu sampai di pintu gudang, jantungku terasa copot, setelah melihat potongan kepala manusia penuh darah dengan mata melotot jatuh dari plafon. Kepala itu tepat jatuh di kakiku dan secara reflek aku menjerit minta tolong. Kepala itu anehnya berjalan menggelinding ke arah pintu kamar loteng ujung dan bersatu kembali dengan tubuh manusia yang memakai jubah hitam.
Setelah tubuh bersatu kembali dengan badannya, makhluk itu berdiri tegap menatap mataku. Nyaliku kecut seketika dan aku berusaha mundur beberapa langkah. Dengan mata menyala-nyala merah, sosok lelaki yang kuyakini hantu itu maju beberapa langkah ke arahku. Tangannya menunjuk hidungku dengan kuku panjang yang tajam. Aku berlari ke bawah dan berteriak minta tolong kepada Abdul Syukur, Satpam penjaga gedung Galery Seni Rupa sebelah rumah Bu Purwanti itu.
Sebagai Satpam pemberani, Abdul Syukur kontan langsung menolongku. Dia memijit punggungku dan membacakan doa-doa. Setelah aku agak tenang, Abdul Syukur membimbingku kembali ke loteng. “Insya Allah kita bisa melakukan perlawanan kepada makhluk itu. Saya yakin makhluk itu adalah jin suruhan Mbah Prawiro dan Pak Leman. Tenang, sabar dan terus berzikir, adalah satu-satunya cara untuk memenangkan pertarungan melawan hantu,” ungkap Abdul Syukur.
Satpam pemberani ini ternyata memang pernah belajar ilmu gaib. Dia beguru di pesantren Tebu Ireng Jombang, pesantren yang sama dengan Kyai Haji Abdurrahman Wahid. Maka itu, saat bertemu dengan hantu berjubah hitam itu, Abdul Syukur langsung beraksi dengan kibasan tangannya dan hantu itu mundur beberapa langkah.
Namun beberapa saat setelah mundur, Si Jubah Hitam memanggil komunitasnya. Beberapa hantu lain datang, ada yang berjubah putih, berpakaian tentara Belanda dan ada pula hantu bermuka rata. Aku benar-benar ketakutan menghadapi kenyataan itu. Tapi Abdul Syukur sangat tenang dan dengan kalem dia terus mengibaskan tangannya sebagai perlawanan.
Di luar dugaan, tangan Syukur mengeluarkan bola api dan hantu-hantu itu terbakar habis. Api membumbung tinggi di atas loteng dan untunglah rumah itu tidak terbakar. “Kau memang berilmu tinggi. Seorang pengamal ilmu laduni yang sederhana dan selalu merendah. Kau ini ibarat padi, yang makin berisi, semakin menunduk,” desisku, memuji pria bertubuh pendek, gemuk dan gemar bercanda itu.
“Kita akan menghadapi masalah mistik yang akan lebih berat. Sebab Mbah Prawiro akan mengirim lagi serangan gaib yang lebih canggih, mungkin besok malam kiriman itu akan datang. Maka itu kita selalu waspada dan tenanglah, aku akan selalu berada di belakangmu,” ungkap Abdul Syukur, menenangkan batinku.
Aku berterima kasih sekali kepada Abdul Syukur. Lelaki yang hidup pas-pasan dengan dua anak itu sangat mulia hatinya dan sikap bersahabat sesama orang miskin begitu tinggi. Katanya, jika aku orang kaya, dia tak akan sudi menolong. Lagi pula, ilmu yang dimilikinya, hanya bisa dijalani saat membantu orang-orang terjepit.
Besok malamnya, di luar dugaan kami, ternyata Mbah Prawiro tidak mengirim apa-apa. Kami yang berjaga hingga subuh dinihari, tidak menemukan apa-apa yang mencurigakan. Ilmu sakti mandraguna milik Abdul Syukur ternyata lebih ampuh dari apa yang dimiliki oleh Mbah Prawiro. Bahkan santet yang berusaha dikirimnya dengan cara mengirim ular kobra, dua hari setelah itu, hancur juga. Seratus ular kobra mati terbakar dan semua bisa ular itu tidak mampu menembus kulitku dan kulit Abdul Syukur.
Empat hari setelah pembantaian secara mistik ular kobra kiriman Mbah Prawiro, lelaki tua yang tersohor sebagai dukun hebat itu, datang meminta maaf kepada kami. Dia mengakui kalah kuat menghadapi ilmu Abdul Syukur dan Si Mbah berjanji untuk bertobat. Bahkan Mbah Prawiro minta diterima sebagai sahabat dan bersiap untuk menjadi murid Abdul Syukur. Sebagai seorang yang sederhana, Abdul Syukur menerima maaf Mbah Prawiro dan mereka pun lalu berpelukan.
Dua bulan setelah itu, Pak Leman menyerah kalah. Pak Leman akhirnya menandatangai damai dengan Bu Purwanti dan rumah bangunan Belanda abad lampau ini diserahkan sepenuhnya kepada Bu Purwanti. Bu Purwanti lalu mengajak aku dan Abdul Syukur untuk bekerjasama mengelola gedung itu yang belakangan dijadikan Rumah Batik, ruang untuk pameran segala macam jenis Batik Nusantara, mulai dari Jawa, Madura, NTT, Kalimantan dan Sumatera.
Sekarang, aku dan Abdul Syukur dipercaya penuh mengelola gedung itu. Usaha ini berjalan lancar dan kami berdua menikmati hidup secara damai, aman dan nyaman. Kini aku sudah sarjana dan beristri serta memilik dua anak, sama dengan Abdul Syukur yang juga memilik dua putra putri yang cantik dan tampan.
Rumah milik keluarga Sulaiman itu, pada saat itu dalam suatu kasus sengketa kepemilikan. Rumah itu menjadi rebutan antara Purwanti, mantan istri Sulaiman dengan Sulaiman sendiri. Sejak mereka bercerai resmi tahun 2001, otomatis keduanya pisah rumah. Sulaiman bekerja di Jakarta dengan menempati rumah pribadinya di Tebet Timur, sedangkan Purwanti, mantan istrinya, menempati rumah hasil gono-gini di Candi, Semarang Selatan.
Sebagai famili jauh dari Purwanti, aku dimintanya untuk menunggui rumah dalam sengketa itu. Mengetahui ada yang yang menempati sebagai wakil Purwanti, Sulaiman naik darah. Pengusaha EMKL itu mengusir aku. Mendengar aku diusir, Purwanti marah besar kepada Sulaiman. Dia langsung menemui Sulaiman di Yoyga dan menampar muka mantan suaminya itu. Sulaiman meludahi istrinya dan mereka saling lempar batu bata di rumah tua itu.
Karena merasa malu, Sulaiman lalu menghambur pergi. Dia pergi ke hotel Ambarukmo dan menginap di situ. Sedangkan Purwanti memerintahkan aku untuk menempati rumah itu berdasarkan surat keputusannya. Purwanti lalu menginap di Hotel Mutiara di Jalan Malioboro. “Awas, kamu jangan sampai pergi meninggalkan rumah ini. Tenang, jangan takut, ada saya. Tidak ada haknya Si Leman itu untuk mengusir kamu dari sini. Ini rumah saya, bukan rumah dia!” desis Purwanti kepadaku.
Karena mendapat dukungan kuat dari Purwanti, aku lalu kembali menempati rumah itu. Salah satu dari 14 kamar tidur aku bersihkan dan kugelar kasur untuk tidur. Sedangkan listrik yang sempat diputus oleh LPN, kembali disambung oleh Purwanti. Rumah gelap itu kembali terang. Beberapa kamar dan ruang aku pasang lampu besar yang dibeli oleh Purwanti. Air ledeng pun kembali dihidupkan dan aku sangat senang karena air dan lampu sangatlah cukup. Sedangkan untuk memasak, aku juga dibelikan kompor gas dan setiap bulan diberi uang untuk gas, listrik dan air ledeng oleh Purwanti.
Sebenarnya aku sangat suka menjaga rumah itu. Selain aku bisa mempunyai tempat tinggal tanpa bayar, aku bisa mendapatkan uang untuk makan dan menambah sedikit biaya kuliah. Ayahku yang miskin di Jambi, dapat tertolong dalam pengeluaran bulanan karena aku mendapat tambahan dari Purwanti. Bahkan beberapa kali aku berkirim surat kepada ayahku, agar ayah tidak usah rutin mengirim uang karena aku bekerja sambil kuliah. Kerjaanku itu adalah menjaga rumah besar banguan tua yang sedang berada dalam sengketa.
Pak Leman diam-diam menggunakan jasa dukun dalam penyelesaian masalah sengketa rumah itu. Dukun yang disewanya itu adalah Mbah Prawiro, 76 tahun, dari Bantul, pakar penjinak jin, yang mampu memenangkan perkara dengan kekuatan gaib. Setelah mendatangi rumah yang kutempati itu tengah malam, Mbah Prawiro bersama Pak Leman lalu kembali ke hotel Ambarukmo.
Mulanya aku tidak curiga akan kehadiran Mbah Prawiro itu. Bahkan aku tidak tahu kalau dia itu adalah seorang dukun hebat. Kuketahui bahwa Mbah Prawiro itu paranormal terkenal adalah dari Satpam gedung sebelah. Tengah malam itu, Si Satpam, Abdul Syukur, 34 tahun, sedang berjaga dan sempat melihat Mbah Prawiro dan Pak Leman berkomat-kamit di depan rumah sengketa.
Mengetahui hal itu, aku langsung pergi ke warnet yang buka 24 jam dan menelpon Bu Purwanti. Bu Purwanti langsung memerintahkan aku untuk tetap tenang dan tidak boleh menyerah. Aku diwanti-wanti untuk tetap bertahan dan tidak menjadi takut. “Jangankan kepada dukun, kepada preman jagoan pun, aku tidak boleh takut. Untuk itulah kau aku gaji!” desis Bu Purwanti.
Sebagai mahasiswa miskin yang banyak membutuhkan uang, jujur aku sangat terpaksa melakukan hal ini. Oleh karena aku butuh uang, maka aku dengan sangat terpaksa memberanikan diriku menghadapi apapun. Termasuk melawan preman berkulit hitam enam orang yang pernah pula dikirim Pak Leman untuk menteror aku. Tapi karena aku punya teman seorang polisi pemberani, maka preman-preman itu mundur dan takut kepada temanku yang polisi, Briptu Jagadikta Dikdjaya. Semua preman di Yogya mengenal polisi beringas yang mempunyai ilmu kebal sakti mandraguna itu. Aku berteman dengan polisi beken ini karena kami sama-sama bermain musik di band The Walk di Bausasran.
Hingga pukul 03.00 dinihari, aku tidak dapat memejamkan mataku. Pikiranku melayang ke orangtuaku di kampung. Aku memikirkan ibu, bapak dan adik-adikku yang membutuhkan biaya sekolah. Lain dari itu, tentu aku juga terus memikirkan keadaan rumah yang kujaga yang penuh teror. Setiap waktu, setiap saat, ada saja teror yang dilancarkan oleh Pak Leman. Selain menteror untuk mengenyahkan aku dari rumah itu, tapi juga trik strateginya yang jitu, baik secara politik, hukum maupun mistik, untuk memenangkan pertarungan harta melawan mantan istrinya, Bu Purwanti.
Sekitar pukul 03.40 pagi itu, tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki dari arah loteng. Suara langkah kaki itu mula-mula pelan, tapi lama kelamaan menjadi cepat dan semakin kencang. Dengan jantung berdebar hebat, aku berusaha bangkit dari kasur dan berdiri mengamati secara seksama sumber suara itu. Suara langkah kaki semakin keras, bahkan makin tajam melangkah di lantai atas, loteng yang selama ini menjadi gudang yang kumuh.
Karena didorong oleh tanggung jawabku sebagai penjaga rumah, aku memberanikan diri melangkah ke tangga menuju loteng. Aku membawa sebuah senter dua batere sebagai penerang di lantai atas. Satu persatu anak tangga aku naiki dengan perlahan. Setiap langkahku meniti anak tangga itu, setiap itu kecepatan gerak jalan jantungku terasa bertambah. Takut, cemas dan gundah gulana menjadi satu di dalam darahku.
Setelah menapaki anak tangga terakhir, aku menyenteri sumber suara. Syahdan, ternyata begitu tersenter arah sumber suara, gerakan langkah kaki makhluk itu berhenti mendadak. Diam membisu dan keadaan loteng pun dinihari itu menjadi sunyi sepi. Sinar senterku ku arahkan ke beberapa sudut untuk menemukan makhluk yang kemungkinan menampakkan diri.
Tapi sayang, tidak ada satupun makhluk yang aku temukan pagi itu. Lalu dengan jantung berdetak hebat, aku melangkah perlahan ke arah gudang. Kakiku setengah berjinjit untuk tidak mengagetkan siapapun yang ada di loteng itu. Dengan sabar dan tabah, aku meredam gejolak dadaku yang penuh rasa takut. Kucoba bertahan dengan kekuatan yang tersisa agar aku puas setelah mengetahui apa yang terjadi di loteng itu.
Begitu sampai di pintu gudang, jantungku terasa copot, setelah melihat potongan kepala manusia penuh darah dengan mata melotot jatuh dari plafon. Kepala itu tepat jatuh di kakiku dan secara reflek aku menjerit minta tolong. Kepala itu anehnya berjalan menggelinding ke arah pintu kamar loteng ujung dan bersatu kembali dengan tubuh manusia yang memakai jubah hitam.
Setelah tubuh bersatu kembali dengan badannya, makhluk itu berdiri tegap menatap mataku. Nyaliku kecut seketika dan aku berusaha mundur beberapa langkah. Dengan mata menyala-nyala merah, sosok lelaki yang kuyakini hantu itu maju beberapa langkah ke arahku. Tangannya menunjuk hidungku dengan kuku panjang yang tajam. Aku berlari ke bawah dan berteriak minta tolong kepada Abdul Syukur, Satpam penjaga gedung Galery Seni Rupa sebelah rumah Bu Purwanti itu.
Sebagai Satpam pemberani, Abdul Syukur kontan langsung menolongku. Dia memijit punggungku dan membacakan doa-doa. Setelah aku agak tenang, Abdul Syukur membimbingku kembali ke loteng. “Insya Allah kita bisa melakukan perlawanan kepada makhluk itu. Saya yakin makhluk itu adalah jin suruhan Mbah Prawiro dan Pak Leman. Tenang, sabar dan terus berzikir, adalah satu-satunya cara untuk memenangkan pertarungan melawan hantu,” ungkap Abdul Syukur.
Satpam pemberani ini ternyata memang pernah belajar ilmu gaib. Dia beguru di pesantren Tebu Ireng Jombang, pesantren yang sama dengan Kyai Haji Abdurrahman Wahid. Maka itu, saat bertemu dengan hantu berjubah hitam itu, Abdul Syukur langsung beraksi dengan kibasan tangannya dan hantu itu mundur beberapa langkah.
Namun beberapa saat setelah mundur, Si Jubah Hitam memanggil komunitasnya. Beberapa hantu lain datang, ada yang berjubah putih, berpakaian tentara Belanda dan ada pula hantu bermuka rata. Aku benar-benar ketakutan menghadapi kenyataan itu. Tapi Abdul Syukur sangat tenang dan dengan kalem dia terus mengibaskan tangannya sebagai perlawanan.
Di luar dugaan, tangan Syukur mengeluarkan bola api dan hantu-hantu itu terbakar habis. Api membumbung tinggi di atas loteng dan untunglah rumah itu tidak terbakar. “Kau memang berilmu tinggi. Seorang pengamal ilmu laduni yang sederhana dan selalu merendah. Kau ini ibarat padi, yang makin berisi, semakin menunduk,” desisku, memuji pria bertubuh pendek, gemuk dan gemar bercanda itu.
“Kita akan menghadapi masalah mistik yang akan lebih berat. Sebab Mbah Prawiro akan mengirim lagi serangan gaib yang lebih canggih, mungkin besok malam kiriman itu akan datang. Maka itu kita selalu waspada dan tenanglah, aku akan selalu berada di belakangmu,” ungkap Abdul Syukur, menenangkan batinku.
Aku berterima kasih sekali kepada Abdul Syukur. Lelaki yang hidup pas-pasan dengan dua anak itu sangat mulia hatinya dan sikap bersahabat sesama orang miskin begitu tinggi. Katanya, jika aku orang kaya, dia tak akan sudi menolong. Lagi pula, ilmu yang dimilikinya, hanya bisa dijalani saat membantu orang-orang terjepit.
Besok malamnya, di luar dugaan kami, ternyata Mbah Prawiro tidak mengirim apa-apa. Kami yang berjaga hingga subuh dinihari, tidak menemukan apa-apa yang mencurigakan. Ilmu sakti mandraguna milik Abdul Syukur ternyata lebih ampuh dari apa yang dimiliki oleh Mbah Prawiro. Bahkan santet yang berusaha dikirimnya dengan cara mengirim ular kobra, dua hari setelah itu, hancur juga. Seratus ular kobra mati terbakar dan semua bisa ular itu tidak mampu menembus kulitku dan kulit Abdul Syukur.
Empat hari setelah pembantaian secara mistik ular kobra kiriman Mbah Prawiro, lelaki tua yang tersohor sebagai dukun hebat itu, datang meminta maaf kepada kami. Dia mengakui kalah kuat menghadapi ilmu Abdul Syukur dan Si Mbah berjanji untuk bertobat. Bahkan Mbah Prawiro minta diterima sebagai sahabat dan bersiap untuk menjadi murid Abdul Syukur. Sebagai seorang yang sederhana, Abdul Syukur menerima maaf Mbah Prawiro dan mereka pun lalu berpelukan.
Dua bulan setelah itu, Pak Leman menyerah kalah. Pak Leman akhirnya menandatangai damai dengan Bu Purwanti dan rumah bangunan Belanda abad lampau ini diserahkan sepenuhnya kepada Bu Purwanti. Bu Purwanti lalu mengajak aku dan Abdul Syukur untuk bekerjasama mengelola gedung itu yang belakangan dijadikan Rumah Batik, ruang untuk pameran segala macam jenis Batik Nusantara, mulai dari Jawa, Madura, NTT, Kalimantan dan Sumatera.
Sekarang, aku dan Abdul Syukur dipercaya penuh mengelola gedung itu. Usaha ini berjalan lancar dan kami berdua menikmati hidup secara damai, aman dan nyaman. Kini aku sudah sarjana dan beristri serta memilik dua anak, sama dengan Abdul Syukur yang juga memilik dua putra putri yang cantik dan tampan.
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori cerita misteri
dengan judul leak di loteng rumah. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://ceritahantuindo.blogspot.com/2012/05/leak-di-loteng-rumah.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Ako Ambardi -
Wah, serem juga ceritanya gan. BTw, sejarah hantu Leak ini gimana ceritanya? Soalnya ada beberapa versi mengenai awal mula adanya hantu Leak ini gan.
BalasHapusSaran, paragrafnya diperhatikan
BalasHapus